Pada tahun 1920, rumah sakit ini dibangun dengan kapasitas 300 tempat tidur oleh pemerintah Belanda dan selesai tahun 1923. Pada tanggal 15 Oktober 1923 diresmikan dan diberi nama Het Algemeene Bandoengsche Ziekenhuis. Lima tahun kemudian, tepatnya tanggal 30 April 1927, namanya berubah menjadi Gemeente Ziekenhuis Juliana. Tenaga dokter pada waktu itu hanya ada 6 dokter berkebangsaan Belanda dan 2 orang dokter berkebangsaan Indonesia, yaitu dr. Tjokro Hadidjojo dan dr. Djundjunan Setiakusumah. Di antara ke enam dokter Belanda itu ada seorang ahli bedah yang tidak bekerja penuh.
Pada tahun 1942, pecah Perang Pasifik dan rumah sakit ini oleh Belanda dijadikan rumah sakit militer yang pengelolaannya diselenggarakan oleh Dinas Kesehatan Militer. Kemudian, masih di tahun 1942 bala tentara Jepang menduduki Pulau Jawa, fasilitas rumah sakit dijadikan rumah sakit militer Jepang dan diberi nama menjadi Rigukun byoin sampai tahun 1945. Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, pada tanggal 17 Agustus 1945 Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, namun rumah sakit masih tetap dikuasai oleh Belanda sebagai rumah sakit militer dibawah pimpinan W.J.van Thiel.
Pada tahun 1948, fungsi rumah sakit diubah kembali menjadi peruntukan bagi kalangan umum. Dalam perkembangan selanjutnya, rumah sakit masuk ke dalam naungan Kotapraja Bandung dan diberi nama Rumah Sakit Rantja Badak (RSRB), sesuai dengan sebutan nama kampung lokasi berdirinya rumah sakit ini yaitu Rantja Badak. Pimpinan masih tetap oleh W.J. van Thiel sampai tahun 1949. Memang sulit dipastikan kapan W.J. Van Thiel mulai memimpin rumah sakit. Namun menurut keluarga, Van Thiel telah menjabat sebelum Jepang menduduki tatar Pasundan tahun 1942. Begitu pula setelah Jepang menyerah pada tahun 1945.
Baru pada tahun 2013, fakta baru yang masih perlu ditelusuri kebenarannya adalah mengenai keberadaan direktur wanita bernama M.S. Rauws. RSHS menerima kedatangan seorang cucu dari perawat bernama Zr.F. Bekker yang pernah bekerja di RS ini sejak tahun 1945-1949, sebelum pada akhirnya ia pindah ke rumah sakit militer di Cimahi. Melalui sebuah surat rekomendasi yang diperolehnya, tertulis nama M.S. Rauws sebagai direktris atau direktur wanita ketika masa itu. Setelah itu rumah sakit dipimpin oleh Dr. Paryono Suriodipuro sampai tahun 1953.
Pada tahun 1954, oleh Menteri Kesehatan, RSRB ditetapkan menjadi RS Propinsi dan langsung di bawah Departemen Kesehatan. Pada tahun 1956, RSRB ditetapkan menjadi Rumah Sakit Umum Pusat dengan kapasitas perawatan meningkat menjadi 600 tempat tidur. Pada tanggal 8 Oktober 1967, RSRB berganti nama menjadi Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin sebagai penghormatan terhadap almarhum Direktur Rumah Sakit yang meninggal dunia pada tanggal 16 Juli 1967 sewaktu masih menjabat sebagai Direktur dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (UNPAD).
RSHS sebagai Rumah Sakit Pendidikan
Master Plan RSHS yang mendukung fungsi RSHS sebagai RS Pendidikan, pertama kali dirancang pada tahun 1972, yang kemudian dikaji ulang dan dikembangkan menjadi Master Plan RSHS tahun 1982. Seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi di bidang kesehatan dan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan peningkatan cakupan, jangkauan dan mutu pelayanan rumah sakit, melalui soft loan dari OECF/JBIC (Jepang), tersusun Master Plan RSHS tahun 1995 sebagai Model RS Pendidikan di Indonesia, dengan filosofi integrasi pelayanan medis dan pendidikan kedokteran untuk peningkatan kualitas hidup manusia.
Realisasi tahap pertama dari Master Plan tersebut adalah pembangunan Gedung Gawat Darurat dan Bedah Sentral (Emergency Unit – Central Operating Theatre / EU-COT) termasuk Ruang Rawat Intensif, yang diselesaikan pada tahun 2001, dilengkapi dengan fasilitas peralatan medic yang canggih pada masanya. Dari efisiensi biaya pembangunan tersebut, telah sekaligus dapat dibangun Gedung Rawat Inap Khusus (kelas VIP), berkapasitas 75 tempat tidur, yang kemudian diberi nama Paviliun Parahyangan.
Peran RSHS dalam dunia pendidikan diawali pada tahun 1957, saat berdirinya Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (FKUP), sebagai sarana pendidikan bagi para calon dokter. Selanjutnya status sebagai RS Pendidikan dikukuhkan pada tahun 1971, dilengkapi dengan Piagam Kerjasama antara RSHS dengan FKUP yang kemudian dikembangkan pada tahun-tahun berikutnya (1974, 1978, 1986, 2003 dan 2008). Kerjasama dalam bidang pendidikan dan penelitian terus dikembangkan dan diperluas dengan berbagai institusi pendidikan bagi tenaga medic, paramedic keperawatan dan tenaga kesehatan lainnya serta tenaga non kesehatan. Pengembangan RSHS sebagai model RS Pendidikan di Indonesia telah dituangkan dalam Master Plan RSHS tahun 1995.
Sejalan dengan filosofi “Medical School and Teaching Hospital Without Walls” dimulailah pembangunan gedung Rumah Sakit Pendidikan Unpad di Jln. Eyckman No. 38 Bandung yang bertujuan untuk mengintegrasikan aspek pendidikan, penelitian dan pelayanan kesehatan di bawah satu atap dengan RSHS. Hal ini sejalan dengan kurikulum Problem Based Learning yang telah diterapkan FK Unpad sejak tahun 2004. Di atas tanah seluas 8.000 m2 dengan total luas bangunan 27.305 m2, Rumah Sakit Pendidikan Unpad (University Teaching Hospital) dibangun sebagai sarana untuk mengintegrasikan pendidikan pasca sarjana ilmu kesehatan, riset berbasiskan produk (translasional research) dan pelayanan kesehatan. Selanjutnya gedung ini akan dilengkapi dengan berbagai fasilitas seperti laboratorium biologi molekuler dan kultur jaringan dan sitogenetik, ruang rawat inap infeksi dan onkologi lengkap dengan fasilitas penunjang serta ruang kegiatan pendidikan. Rumah Sakit pendidikan ini siap dioperasionalkan pada tahun 2010.