Unit Penelitian Kesehatan (UPK)

vlir-fk-unpad
Penandatanganan bantuan VLIR oleh Menteri Kerjasama Luar Negeri Kerajaan Belgia dan Dekan ke-8 Koeswadji Tahun 1986

Unit Penelitian Kesehatan dibentuk pada tahun 1991 berdasarkan Surat Keputusan Bersama Dekan FK UNPAD No. 14/PT.06.H4.FK/Kep/N91 dan Direktur RSHS No. 801 A/D/IV/Kepeg/III/1991.  Sebelum unit ini berdiri diberi nama Tim Penelitian Kedokteran pada tahun 1986.  Oleh karena muncul anggapan bahwa Tim Penelitian adalah Kelompok orang dan bukan tempat unuk mengenmbangkan kegiatan penelitian, maka nama tim diubah menjadi unit dan Kedokteran diubah menjadi Kesehatan.  Salah satu tujuan pendirian UPK ini antara lain untuk mengembangkan kegiatan lembaga epidemologi klinik dan biostatistik, yang semuanya bermuara pada peningkatan status kesehatan masyarakat. Hal ini tercantum dalam piagam kerjasama antara Unpad dengan Vlaame Interuniversitaire (VLIR) Belgia, yang ditandatangani pada 1986.

belgia-rshsMelalui UPK, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran saat itu dikenal sebagai pelopor pengembangan epidemiologi klinik. Banyak utusan dari universitas di seantero tanah air ikut serta dalam mempelajari epidemiologi klinik di Unpad. Tercatat ketika itu, UPK berhasil menyelenggarakan sampai 12 kali kursus epidemiologi klinik. Epidemiologi klinik diyakini bersifat penting dalam pengembangan kesehatan untuk masa depan.

Selain itu, UPK juga dikembangkan sebagai pusat pengembangan basic health science research. Hal ini dikembangkan karena dalam mengantisipasi perkembangan kualitas kesehatan, tidak cukup hanya dengan melihat gejala klinik, namun harus pula diketahui penyebabnya di tingkat molekuler. Basic science research ini dikembangkan sesuai dengan upaya memadukan penelitian yang dikembangkan oleh ahli klinik dengan yang dikembangkan oleh ahli ilmu kesehatan dasar.

Hal terberat yang berkaitan dengan unit penelitian seperti UPK ini adalah sewaktu mempertahankan kesinambungan kualitas. Pada 1996, ketika Koeswadji menjabat sebagai Kepala UPK, bantuan dari VLIR telah berakhir. Ketika itu Koeswadji dibantu Tri Hanggono Ahmad yang menjadi sekretaris UPK. Dari sinilah perjuangan mempertahankan keberadaan UPK bermula yang telah banyak merekrut karyawan sewaktu projek VLIR berjalan. Kegelisahan kemungkinan pemutusan hubungan kerja karyawan, membuat Koeswadji dan Tri Hanggono sungguh khawatir sekali. Koeswadji tetap berpegang pada prinsip bahwa kita semua bekerja untuk institusi. Jadi, bagaimana pun harus tetap berusaha untuk mencari dana dan menghidupi institusi, termasuk untuk para pegawai tadi. Meskipun tantangannya sulit, namun hal ini tetap Koeswadji hadapi dan lakoni dengan penuh keyakinan.

picture-078Langkah dan strategi mempertahankan keberadaan UPK dilakukan dengan berbagai cara, termasuk mencari peluang pendanaan maupun efisiensi pembiayaan. Cerita menarik tentang mempertahankan eksistensi UPK adalah “cerita kerupuk”. Dalam rangka penghematan biaya, Koeswadji dan rekan-rekan di UPK memiliki menu makan kerupuk, yang terpaksa dinikmatinya dari hari ke hari. Prinsip utama beliau adalah harus tetap mendorong sesuatu untuk program terlebih dahulu, bukan untuk diri pribadi. Sehingga pada waktu itu mulai dikenal pula istilah project hunter yang utamanya bertugas mencari proyek-proyek penelitian untuk tetap memberikan balance cash flow bagi kehidupan UPK.    Bermula dari kesempatan meraih grand kompetitif Riset Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Kedokteran (Risbin Iptekdok) pada 1987, UPK mulai sedikit demi sedikit mendapat kucuran dana untuk melakukan risetnya.     

Sejak UPK ditangani Koeswadji, semua hal dibenahi dan dilakukan bersama-sama. Termasuk ketika mendapat proyek riset. Bukan menjadi proyek sendiri, namun menjadi proyek bersama. Semua saling mendorong dan menyemangati untuk kemajuan bersama dan institusi. Misalnya, ketika itu semua orang atau peneliti yang mendapat grand akan menyisihkan uangnya. Semua dikumpulkan untuk membeli alat-alat penelitian yang akan digunakan bersama. Oleh karena itu, ciri khas UPK pada waktu itu adalah semua orang dapat memggunakan fasilitas UPK untuk penelitian, bahkan mahasiswa atau peneliti dari luar Unpad seperti dari Universitas Maranatha dan Universitas Jenderal Ahmad Yani. Memang UPK pada dasarnya bertujuan mengembangkan penelitian undergraduate, postgraduate, bahkan selain program degree.

Lama kelamaan UPK bukan hanya menjadi tempat penelitian, tetapi juga akulturasi pemahaman antara generasi tua dipimpin Koeswadji dengan generasi muda. Unit Penelitian Kesehatan menjadi kawah candradimuka bagi para generasi muda, khususnya mahasiswa kedokteran, untuk mengembangkan potensi diri. Tempat ini memang strategis untuk pengembangan potensi karena semua orang yang terlibat di UPK diuji untuk memiliki daya pikir kritis dan logis sesuai dengan metode ilmiah yang dikembangkan dalam penelitian.

Adalah Irvan Afriandi—salah satu periset muda UPK—sepulangnya dari pertemuan di UGM bercerita kepada Koeswadji. Irvan bercerita bahwa Prof. Narto selaku Dekan FK UGM waktu itu yang mengemukakan bahwa UGM telah dapatkan sebuah grand penting dalam penyelengaraan pendidikan kedokteran dari Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti), yaitu Quality Undergraduate Education Project (QUE Project). Mendengar pemaparan dari Irvan, maka dicanangkanlah tekad bahwa pada tahun selanjutnya, Unpad melalui UPK harus meraih grand QUE Project tersebut. Tekad ini didukung sepenuhnya Dekan pada waktu itu—Ponpon Idjradinata—dan Rektor Unpad waktu itu—Himendra Wargahadibrata.   Maka dimulailah proses persiapan pemenangan hibah kompetitif tersebut. Tri Hanggono dan rekan-rekan muda dari UPK dijadikan motor untuk mendapatkan grand tersebut. Gayung pun bersambut. Pada tahun 1988, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran dinyatakan sebagai pemenang dalam hibah kompetitif QUE Project.

Dalam perkembangan selanjutnya, Koeswadji melihat bahwa di antara para pengembang UPK ada yang memiliki ketertarikan lebih pada bidang pengembangan pendidikan kedokteran.   Sebenarnya, hal ini bersifat resiprokal di mana diperlukan posisi di bidang riset untuk memperkuat pendidikan. Oleh karena jika hanya mendorong riset, hasilnya akan “cepat-saji”. Akan tetapi, jika riset ini dibangun orang-orang yang bukan dari pendidikan, hasilnya akan tidak sejalan dengan pendidikannya. Melihat hal tersebut, UPK tidak lagi hanya berkutat dalam riset kesehatan, namun juga dikembangkan untuk riset pendidikan kedokteran dan kesehatan.

picture-101Bermula dari QUE Project, inilah percepatan pengembangan pendidikan kedokteran dimulai. Untuk memberikan fokus terhadap pengembangan pendidikan, maka dibentuklah sebuah unit yang dinamakan Medical Education Research and Development Unit (MERDU) dan Medical Information Research Center (MIRC). Percepatan paling penting yang didapat dari hasil QUE Project adalah adanya perbaikan kualitas pengajaran kedokteran. Kemajuan ini bahkan melahirkan sebuah program studi Kelas Pengajaran Berbahasa Inggris (KPBI) yang dimulai pada 2001. Program ini diperuntukkan bagi mahasiswa asal Malaysia. Sebenarnya, penerimaan mahasiswa asing sudah dimulai jauh sebelum program ini diluncurkan. Akan tetapi dari sisi pengembangan, program inilah yang pertama kali mempergunakan sistem metode pengajaran Problem Based Learning (PBL). Pengembangan sistem PBL dengan kelas KPBI dipimpin Sri Hartini Karyadi. Dalam penyusunan kurikulum, Sri Hartini mengajak Tri Hanggono yang pada waktu itu baru saja menyelesaikan fellowship-nya tentang pendidikan kedokteran. Jadi sejak 2001, Fakultas Kedokteran Unpad dikenal sebagai pelopor dalam bidang pengembangan PBL.