Pada hari Sabtu 27 Februari 2016, telah dilakukan seminar sehari Bertema Remunerasi Dokter di Era JKN oleh Proker BADAMI (Bersama Dalam Mengkaji Ilmu) yang merupakan program rutin yang dilakukan IKA FK dalam mengedukasi alumni maupun sejawat lainnya. Acara ini dihadiri oleh berbagai pihak khususnya para pemangku kepentingan yang ada di lingkungan rumah sakit pemerintah maupun swasta.
Berikut petikan resumenya:
Remunerasi merupakan sistem yang erat dengan pembayaran. Mengingat saat ini kita sudah masuk dalam Era BPJS. Dasar hukum untuk Remunerasi Badan Layanan Umum (BLU) Rumah Sakit berdasarkan:
1. UU No. 1 Tahun 2004
2. PP No. 23 Tahun 2005 mengenai gaji (Rupiah murni) pegawai ,tunjangan hidup, kompensasi
3. PMK No. 10/PMK.02/2006
Remunerasi merupakan suatu hal yang baru karena sebelumnya tidak ada pemberlakuan hal tersebut. 4 aspek untuk mempertimbangkan penetapan remunerasi itu sendiri adalah:
– Proposional – Kepatutan
– Kesetaraan – Kinerja operasional BLU
Sistem perhitungan remunerasi yang berlaku bergantung dari kebijakan kementerian masing – masing sehingga pasti terdapat perbedaan. Hal ini rawan menjadi titik awal masalah. Remunerasi pertama kali diterapkan di Kementrian Keuangan. Pembayaran remunerasi sendiri berdasarkan APBN (rupiah murni), APBD, atau pendapatan fungsional BLU/ BLUD.
Pembayaran remunerasi ditentukan dengan melihat 3P: Pay for (P1, P2, P3)
1. Position (Dengan pencapaian 25%): Gaji ( Bersifat tetap)
2. Performance (KIU, KII): Kinerja (Intensive sesuai capaian kerja)
3. People (Jaminan kesehatan, ketenagakerjaan, hari tua)
Instrument dari remunerasi yang transparan, termasuk membuat evaluasi kinerja berdasarkan berbagai faktor, sangat diperlukan untuk meyakinkan pemegang kebijakan (stakeholder). Sebagai bentuk transparansi manajemen, tata kelola remunerasi harus di komunikasikan terus menerus.
BLU sendiri melambangkan organisasi nirlaba yang tidak mengutamakan keuntungan dan pengelolaannya bersifat otonom. BLU merujuk hanya sampai fase pertanggungjawab, Kementerian hanya di perencanaan, dan pelaksanaan oleh oleh pimpinan BLU. Pegawai BLU dapat diangkat dari PNS. Bisa juga kalangan non PNS dengan mendapatkan fasilitas yang sama dengan PNS.
Remunerasi hanyalah salah satu dari sistem reward, sehingga non-cash reward perlu dipikirkan untuk menjaga pegawai. Reward menjadi pembahasan yang banyak diperbincangkan karena makin lama, pegawai kesehatan semakin berkurang (talent war) dibanding dengan pertumbuhan RS. Hal ini diikuti desakan kebutuhan konsumen. Akibatnya RS dituntut untuk dikelola secara efisien.
Pemahaman remunerasi masih sangat kurang dikalangan tenaga kesehatan khususnya dokter. Dasar hukum penerapan dan perhitungan remunerasi dokter tidak seragam bagi dokter dibawah Kemdiknas, Kemkes, maupun tempat lain. Akibatnya muncul masalah ketidakharmonisan antar dokter dan institusi.Remunerasi wajib dilaksanakan pada Rumah Sakit Pemerintah baik Pusat/Daerah. RS Swasta yang bekeja sama dengan BPJS memang tidak diwajibkan utk menerapkan remunerasi dan mempertahankan sistem pembayaran fee for service. Tetapi sampai kapan? Mengingat klaim pembayaran ke RS Pemerintah dan Swasta sama. Perlu diketahui bahwa tidak adanya standar jasa finansial pelayanan kesehatan untuk tindakan yang sama di setiap RS.
Metode pembayaran di Era JKN dilaksanakan berdasarkan Pasal 39 ayat 1 dalam Perpes III/2013. Remunerasi bukanlah hak tetapi kinerja sehingga apabila tidak ada kinerja maka tidak ada pula remunerasi.
Di Institusi Pendidikan Unpad implementasinya berdasarkan hukum:
1. KMK No. 512
2. UU dikdok: UU No. 20 Tahun 2013
Pola pembayaran gaji berdasarkan 12 SKS dimana hal ini terhitung dari 20% BLU mengajar P1.
Bagi pegawai di Institusi Pendidikan dengan status pembayaran gaji masih honorarium mak tidak akan mendapatkan remunerasi.
Apabila mengemukakan aspek bekerja tentu Residen dan Co-ass seharusnya dibayar , dan perhitungan mengenai contoh penerapan reminerasi adalah RS. Sumber Waras Cirebon.
Sebagian besar dari peserta workshop IKA Unpad mengenai topic remunerasi tidak percaya bahwa remunerasi akan lebih mensejahterakan. Para dokter sendiri adalah SDM yang memiliki resistensi terbesar terhadap remunerasi.